ARTICLE AD BOX
Abstract
Pada abad ini, urbanisasi menjadi salah satu tren dunia yang berkembang pesat. Pada tahun 2050 diproyeksikan dua dari tiga orang akan tinggal di kawasan perkotaan. Pada negara berkembang seperti Indonesia, urbanisasi diperkirakan akan tumbuh 2,3% per tahun antara 2000 hingga 2030. Urbanisasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses menuju negara maju. Kota berperan sebagai pusat perekonomian dengan menciptakan efisiensi biaya produksi, memperluas jangkauan pasar, dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Kawasan Kedungsepur yang meliputi Kabupaten Kendal, Demak, Semarang, Salatiga, dan Grobogan di Provinsi Jawa Tengah diprioritaskan sebagai area pembangunan metropolitan. Lokasi yang strategis serta ketersediaan infrastruktur, seperti pelabuhan internasional Tanjung Mas, jalur Pantai Utara (Pantura), serta tol Trans Jawa memberikan dorongan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kawasan ini. Seiring dengan pesatnya urbanisasi, Kedungsepur mengalami perubahan besar dalam tutupan lahan dan penggunaan ruang, yang turut mempengaruhi dinamika sosial, ekonomi, lingkungan, struktur demografi, serta fungsi wilayahnya. Proses urbanisasi yang berlangsung di Kedungsepur membawa dampak signifikan terhadap perubahan tutupan/penggunaan lahan, yang pada gilirannya mempengaruhi transformasi wilayah perdesaan menjadi perkotaan juga berpotensi mengubah karakteristik sosial dan demografi kawasan. Dengan pesatnya pembangunan yang terjadi, sangat penting untuk memperhatikan keberlanjutan wilayah ini. Oleh karena itu, diperlukan strategi pembangunan yang tepat agar perkembangan metropolitan di Kedungsepur dapat berjalan secara berkelanjutan, menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan perlindungan lingkungan. Analisis perubahan tutupan/penggunaan lahan dilakukan dengan teknik reclassify dan overlay, yang kemudian dilanjutkan dengan analisis gain and losses untuk menentukan matriks transisi perubahan tutupan/penggunaan lahan. Selanjutnya, transformasi perdesaan-perkotaan dianalisis melalui Rural-Urban Index (RUI), yang diikuti dengan identifikasi spatial autocorrelation menggunakan Moran’s I dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA). Untuk menilai status keberlanjutan wilayah, pendekatan Multiaspect Sustainability Analysis (MSA) diterapkan dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Terakhir, saran dan rekomendasi kebijakan disusun melalui analisis IFAS (Internal Factor Analysis Summary), EFAS (External Factor Analysis Summary), dan Decision Table. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2012, wilayah Kedungsepur didominasi oleh kelas tutupan/penggunaan lahan sawah dan hutan. Namun, pada tahun 2022, sawah dan lahan terbangun menjadi kelas penggunaan lahan utama yang mendominasi kawasan ini. Tutupan/penggunaan lahan hutan mengalami penurunan luas yang signifikan. Di sisi lain, lahan pertanian non-sawah dan lahan terbangun mengalami peningkatan yang cukup besar. Berdasarkan analisis matriks transisi atau net gain and losses sebagian besar area hutan yang berkurang, terkonversi menjadi pertanian non-sawah, lahan terbangun, dan perkebunan. Analisis R UI di Kedungsepur menunjukkan peningkatan jumlah wilayah berkarakteristik perkotaan, dari 235 wilayah pada tahun 2012 menjadi 302 wilayah pada tahun 2022. Kabupaten Kendal tercatat sebagai wilayah dengan tingkat transformasi tertinggi, sementara Salatiga dan Grobogan menunjukkan tingkat transformasi perdesaan-perkotaan yang terendah. Analisis Moran’s I menghasilkan nilai 0,83, yang menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang mengalami transformasi perdesaan-perkotaan cenderung mengelompok. Selain itu, analisis LISA menunjukkan terjadinya peningkatan wilayah yang mengalami autokorelasi spasial, yang mencerminkan adanya peningkatan keterkaitan spasial antar wilayah selama periode tersebut. Hal ini mengindikasikan perubahan dalam pola pembangunan dan intensifikasi interaksi antar wilayah di kawasan metropolitan Kedungsepur. Dalam analisis keberlanjutan, nilai keberlanjutan paling rendah pada dimensi sosial dan lingkungan terdapat di Kabupaten Kendal dengan status "keberlanjutan sedang". Sementara itu, pada dimensi ekonomi, Kabupaten Semarang mencatatkan nilai paling rendah dengan status "keberlanjutan sedang". Berdasarkan temuan ini, rekomendasi yang diberikan berfokus pada konsep urban-rural linkages untuk menciptakan keseimbangan pembangunan yang berkelanjutan di Kedungsepur.