ARTICLE AD BOX
Kura-kura moncong babi (C. insculpta) adalah spesies unik karena merupakan satu-satunya anggota keluarga Carettochelyidae yang masih bertahan hidup, dengan distribusi terbatas di Papua bagian selatan Indonesia, Papua Nugini, dan Australia. Spesies ini berstatus terancam punah dan dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Indonesia. Namun, perdagangan ilegal menjadi ancaman utama bagi keberlanjutannya di Indonesia. Stabilitas ekologi C. insculpta di Provinsi Papua Selatan sangat penting untuk mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan. Penelitian ini memanfaatkan paket Ecological Niche Modeling at The Metaland EcologyLab (ENMTML) untuk membuat model distribusi spasial yang memprediksi probabilitas pemanfaatan kura-kura moncong babi (C. insculpta) di wilayah selatan Papua, Indonesia, khususnya di Kabupaten Boven Digoel, Asmat, Mappi, dan Merauke. Model ini secara efektif mengidentifikasi wilayah berisiko tinggi pemanfaatan spesies ini dengan menggunakan teknik pembelajaran mesin dengan algoritma Random Forest. Wilayah dengan probabilitas pemanfaatan C. insculpta tertinggi di Provinsi Papua Selatan adalah Kabupaten Boven Digoel dengan luas lahan sebesar 496.019,61 hektar, sedangkan pemanfaatan sedang dan rendah terjadi di kabupaten Asmat dengan luas masing – masing sebesar 921,830,76 hektar dan 695.466,10 hektar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko untuk kura-kura moncong babi (C. Insculpta) berhubungan dengan tingginya probablitas pemanfaatan telur C. Insculpta, yang dipengaruhi oleh keberadaan air permukaan (10,64%), jarak dari permukiman (21,29 km), dan jarak dari jalan (9,31 km). Variabel-variabel ini menunjukan bahwa daerah yang lebih jauh dari pemukiman dan jalan serta memiliki genangan temporer lebih rentan terhadap pemanfaatan, berpotensi mempengaruhi keberlangsungan populasi dan habitat C. Insculpta. Wilayah dengan kelas probabilitas pemanfaatan C. insculpta tinggi, yaitu hutan produksi tetap yang mencakup 490.074,77 ha (33% dari total), menunjukkan bahwa area ini rentan terhadap pemanfaatan yang intensif, dengan indikasi bahwa pergeseran fungsi kawasan dari konservasi ke produksi telah meningkatkan risiko. Hasil analisis jejaring aktor pada pemanfaatan telur C. insculpta menunjukkan bahwa pengumpul telur memiliki peran dominan dalam jaringan dengan Degree Centrality dan Weighted Degree tertinggi, memegang peran utama dalam jaringan distribusi telur, yang berpotensi memfasilitasi pengambilan telur ilegal dan perdagangan tukik. Sementara itu, Closeness Centrality dan Betweenness Centrality yang tinggi pada pemerintah daerah dan pusat menunjukkan peran kunci sebagai penghubung yang efektif untuk mengintegrasikan upaya konservasi di seluruh tingkatan aktor. Selain itu broker tingkat tinggi menunjukkan Eigenvector Centrality terbesar, menandakan bahwa broker tingkat tinggi memiliki pengaruh signifikan dalam jaringan dengan hubungan yang kuat dengan aktor-aktor kunci lainnya. Namun, fragmentasi yang ditunjukkan oleh Modularity Class mengungkapkan adanya kelompok-kelompok aktor dengan prioritas dan strategi yang berbeda. Dalam mendukung pemanfaatan berkelanjutan C. insculpta, para praktisi dan pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan implikasi praktis dari temuan penelitian ini. Rekomendasi dari hasil analisis ini meliputi: a) memperkuat peran pengumpul telur melalui pelatihan dan pendampingan untuk mengelola area ranching secara mandiri. Ranching harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang melegalkan dan memfasilitasi usaha penetasan telur secara terkendali. Selain itu menyediakan alternatif ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal; b) meningkatkan kolaborasi antara kelompok aktor yang teridentifikasi dalam nilai Modularity Class; c) pemerintah daerah dan pusat perlu mengembangkan kebijakan yang mengakomodasi inisiatif lokal dan mendukung legalitas usaha ranching, dengan menyediakan regulasi yang jelas dan akses kepada pasar yang sah.
The pig-nosed turtle (C. insculpta) is a distinct species and the sole surviving representative of the Carettochelyidae family. Its habitat is predominantly confined to southern Papua, Indonesia, Papua New Guinea, and Australia. This species is classified as endangered and is protected under Indonesian Government Regulation. Nevertheless, the illegal wildlife trade represents a significant threat to its continued existence in Indonesia. The ecological stability of C. insculpta in the South Papua Province is crucial for effective and sustainable management practices. This research utilized the Ecological Niche Modeling at The Metaland EcologyLab (ENMTML) package to create a spatial distribution model that predicts the probability of pig-nosed turtle (C. insculpta) use in the southern region of Papua, Indonesia, specifically in the Boven Digoel, Asmat, Mappi, and Merauke regencies. This model effectively identifies high-risk areas for using this species by employing machine learning techniques with the Random Forest algorithm. The area with the highest probability for C. insculpta use in South Papua Province is Boven Digoel Regency, encompassing 496,019.61 hectares. In contrast, Asmat Regency exhibits moderate and low use levels, with land areas of 921,830.76 hectares and 695,466.10 hectares, respectively. The results indicated that the risk to pig-nosed turtles (C. insculpta) was linked to a significant probability of egg use, which was influenced by the occurrence of water (10.64%), the distance from settlements (21.29 km), and the distance from roads (9.31 km). These variables suggest that areas farther away from settlements and roads and those with temporary inundation are more susceptible to egg use. This could impact the sustainability of C. insculpta populations and their habitats. Areas designated as high probability classes of C. insculpta use, particularly permanent production forests covering 490,074.77 hectares (33% of the total area), indicate vulnerability to intensive use. There are signs that the shift in land use from conservation to production has increased this risk. The actor-network analysis concerning the use of C. insculpta eggs reveals that egg collectors play a dominant role in the network, demonstrating the highest Degree of Centrality and Weighted Degree. This position makes them central to the egg distribution network, which could facilitate illegal egg collection and the trade of hatchlings. In contrast, local and central governments exhibit high Closeness Centrality and Betweenness Centrality, highlighting their crucial role as effective connectors in integrating conservation efforts across different actor levels. Additionally, influential brokers with high Eigenvector Centrality maintain strong relationships with other vital actors, further amplifying their impact in the network. However, the fragmentation indicated by the Modularity Class suggests the presence of different actor groups with varying priorities and strategies. To promote the sustainable use of C. insculpta, practitioners and policymakers should consider the practical implications of this research's findings. The following recommendations arise from the analysis: a) strengthen the role of egg collectors by providing training and mentoring, enabling them to manage ranching areas independently. Ranching should be supported by government policies that legalize and facilitate controlled egg-hatching efforts. Sustainable economic alternatives should also be offered to local communities; b) enhance collaboration among the various stakeholder groups identified in the Modularity Class value; c) local and central governments must develop policies that support local initiatives and legitimize ranching efforts by providing clear regulations and access to legitimate markets.