ARTICLE AD BOX
Pradipta, Benedicta Nadine and Hikmatul Ula, S.H., M.Kn, and AAA Nanda Saraswati, S.H., M.H, (2025) Implementasi Prinsip Non-Refoulment dalam Putusan US Court of Appeals terkait Permohonan Suaka Berdasarkan Ancaman Female Genital Mutilation. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Menurut hukum internasional dan hukum Amerika Serikat, seseorang tidak dapat dikembalikan ke negara di mana terdapat kemungkinan besar mereka akan menghadapi penyiksaan. Convention Against Torture (CAT) yang ditandatangani AS pada 1988 dan diratifikasi pada 1994, mengharuskan negara-negara untuk melarang penyiksaan dan menerapkan prinsip non-refoulement sebagaimana diatur dalam Pasal 3 CAT. Prinsip ini melarang pengusiran atau pemulangan seseorang ke negara di mana terdapat alasan kuat untuk percaya bahwa mereka berisiko mengalami penyiksaan. Dalam penerapannya, pengadilan AS, seperti dalam kasus Matter of Kasinga, mengakui Female Genital Mutilation (FGM) sebagai bentuk penganiayaan yang dapat menjadi dasar klaim suaka. Namun seiring waktu terdapat beberapa kasus serupa terkait FGM yang tidak mendapatkan suaka maupu penangguhan deportasi. Hal ini menunjukan menunjukkan bahwa penerapan prinsip ini tidak selalu konsisten. Melalui analisis putusan U.S. Court of Appeals, penelitian ini mengeksplorasi implementasi prinsip non-refoulement dari hukum internasional terhadap hukum nasional terkait kasus permohonan suaka terkait ancaman FGM di Amerika Serikat. Permasalahan yag diangkat dalam penulisan ini adalah: 1) Apakah Female Genital Mutilation dapat dikategorikan sebagai torture sehingga prinsip nonrefoulement pada Pasal 1 Convention Against Torture dapat diterapkan dalam permohonan suaka? 2) Bagaimana implementasi prinsip non-refoulement Amerika Serikat dalam menetapkan kriteria pada putusan US Court of Appeals terkait permohonan suaka berdasarkan ancaman Female Genital Mutilation? Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Berdasarkan hasil dari penelitian ini, FGM memenuhi kriteria penyiksaan menurut Pasal 1 CAT karena menyebabkan rasa sakit fisik dan mental yang parah, dilakukan dengan sengaja, dan bertujuan untuk diskriminasi atau kontrol terhadap perempuan dan anak perempuan. Meski demikian, tidak semua kasus FGM otomatis dianggap sebagai penyiksaan; pemohon suaka harus memenuhi seluruh unsur dalam Pasal 1 CAT agar dapat dikategorikan demikian. Dalam konteks ini, prinsip non-refoulement melarang negara mengembalikan individu ke negara asal jika mereka berisiko mengalami penyiksaan sebagaimana didefinisikan dalam CAT. Amerika Serikat telah mengimplementasikan prinsip ini dengan baik dalam banyak kasus FGM, meskipun ada kelemahan ketika kasus ibu dan anak diperlakukan secara terpisah, yang dapat melemahkan perlindungan. Dalam menentukan kriteria suaka, AS mempertimbangkan ancaman nyata penganiayaan, keanggotaan pemohon dalam kelompok tertentu yang rentan, serta kredibilitas pemohon dalam menyampaikan kasusnya.
English Abstract
According to international and United States law, no one can be returned to a country where there is a substantial likelihood they will face torture. The Convention Against Torture (CAT), signed by the US in 1988 and ratified in 1994, mandates states to prohibit torture and enforce the principle of non-refoulement as outlined in Article 3 of CAT. This principle prohibits expelling or returning individuals to a country where there are substantial grounds for believing they are at risk of torture. In its application, US courts, as in the case of Matter of Kasinga, have recognized Female Genital Mutilation (FGM) as a form of persecution that qualifies as grounds for asylum. However, over time, similar cases involving FGM have not always resulted in asylum or deferred deportation. This inconsistency highlights variations in the implementation of the principle. Through an analysis of US Court of Appeals decisions, this research explores the implementation of the non-refoulement principle from international law into national law concerning asylum applications based on the threat of FGM in the United States. The issues addressed in this research are: 1) Can Female Genital Mutilation be categorized as torture, thereby making the non-refoulement principle under Article 1 of the Convention Against Torture applicable in asylum applications? 2) How is the principle of non-refoulement implemented by the United States in establishing criteria for US Court of Appeals decisions regarding asylum applications based on the threat of Female Genital Mutilation? This study employs normative juridical research methods with a statute approach and a case approach. The legal materials used in this research include primary, secondary, and tertiary sources. Based on the findings, FGM meets the criteria for torture under Article 1 of CAT as it causes severe physical and mental pain, is intentionally inflicted, and is aimed at discriminating against or controlling women and girls. However, not all FGM cases are automatically considered torture; asylum applicants must satisfy all elements of Article 1 of CAT to qualify. In this context, the principle of nonrefoulement prohibits states from returning individuals to their country of origin if they are at risk of torture as defined under CAT. The United States has implemented this principle effectively in many FGM-related cases, although weaknesses arise when cases involving mothers and children are treated separately, potentially undermining protection. In determining asylum criteria, the US considers the real risk of persecution, the applicant's membership in a specific vulnerable group, and the credibility of the applicant's claims.
![]() |
Text (DALAM MASA EMBARGO)
Benedicta Nadine Pradipta.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) |
Actions (login required)
![]() |
View Item |